Oleh: Pimpinan Redaksi Sitijenarnews Group Multimedia
Wartakotamu.com Senin 14 April 2025: Dunia jurnalisme di Indonesia kembali tercoreng oleh ulah segelintir oknum yang menyalahgunakan profesi mulia ini untuk kepentingan pribadi. Fenomena ini kian terang-terangan terjadi, terutama di Pulau Jawa, di mana sejumlah wartawan dan pimpinan media memanfaatkan identitas mereka bukan untuk menjalankan tugas jurnalistik, melainkan sebagai pintu masuk ke berbagai praktik bisnis gelap dan proyek-proyek pemerintah.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa di balik wajah profesional dan klaim sebagai “wartawan senior”, tersembunyi kepentingan ekonomi yang menjauhkan mereka dari idealisme jurnalistik. Wartawan yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat dan penjaga kebenaran, justru terjerat dalam praktik yang tidak etis, bahkan bertentangan dengan Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik.
Sertifikat Kompetensi Dijadikan Alat Legitimasi Palsu:
Salah satu modus yang kini kerap digunakan adalah penggunaan Sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai alat legitimasi yang menyesatkan. Banyak dari mereka mengklaim telah mengikuti UKW untuk menambah kredibilitas di mata publik dan pejabat. Namun, alih-alih meningkatkan kualitas jurnalistik, sertifikat tersebut justru dimanfaatkan untuk mendapatkan proyek dan memaksakan posisi tawar kepada instansi pemerintah.
Dengan mengusung status “terverifikasi” oleh Dewan Pers, mereka menawarkan jasa pemasangan iklan kepada institusi pemerintah—baik pusat maupun daerah—dengan harga dan skema yang sering kali tidak transparan dan tidak sesuai standar. Bahkan, banyak dari aktivitas periklanan ini tidak tercatat secara resmi di administrasi perusahaan media mereka, yang berarti berpotensi merugikan keuangan negara.
Jurnalis yang Beralih Menjadi Makelar Proyek:
Lebih dari sekadar urusan iklan, sejumlah oknum juga terlibat dalam praktik-praktik yang jauh dari etika profesi jurnalistik. Mereka aktif mengelola usaha sampingan seperti pemasangan baliho, pengadaan barang dan jasa, serta jasa event organizer tanpa izin resmi. Dalam banyak kasus, mereka menjadi perantara atau calo dalam proyek-proyek pemerintah, menghubungkan pengusaha dengan pejabat untuk mendapatkan fee dari hasil lobi.
Fenomena ini menjadikan wartawan tak ubahnya seperti makelar proyek. Mereka mengubah ruang redaksi menjadi tempat perencanaan bisnis, bukan ruang editorial yang menggodok isu-isu publik dan berita investigasi. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang terlibat aktif dalam tim sukses calon kepala daerah demi mendapatkan keuntungan dari proyek dan fasilitas jika calon tersebut terpilih.
Media Sebagai Alat Transaksi Kekuasaan:
Hal yang lebih memprihatinkan adalah bagaimana media dijadikan alat transaksi untuk mengakses kekuasaan dan anggaran. Mereka tidak lagi fokus pada liputan lapangan atau peliputan isu-isu sosial yang menyentuh kepentingan rakyat. Sebaliknya, sebagian besar waktu mereka habiskan untuk menyalin dan menyiarkan rilis pers dari lembaga pemerintahan, militer, atau kepolisian tanpa proses verifikasi dan pendalaman yang layak.
Kegiatan jurnalistik yang idealnya berangkat dari semangat keberanian dan pencarian kebenaran, kini bergeser menjadi rutinitas yang hanya mengejar pemasukan dari iklan dan proyek. Dalam kondisi seperti ini, publik tidak lagi mendapatkan informasi yang utuh dan mendalam. Mereka hanya disuguhi berita setengah jadi yang tak lebih dari pengulangan informasi resmi.
Mengintimidasi Media Muda dan Menguasai Ekosistem Pers:
Oknum wartawan yang telah memiliki sertifikat UKW dan afiliasi dengan organisasi pers juga kerap menggunakan status tersebut untuk menekan media atau wartawan lain yang belum terverifikasi. Pertanyaan seperti, “Apakah kamu sudah UKW?” atau “Apakah medianya sudah terverifikasi Dewan Pers?” menjadi bentuk tekanan yang digunakan untuk melemahkan media baru, sekaligus mempertahankan monopoli mereka atas jaringan anggaran dan proyek.
Lebih ironis lagi, beberapa pimpinan organisasi pers ikut bermain dalam praktik ini. Padahal, sebagai tokoh di dunia jurnalistik, mereka seharusnya menjadi panutan dan pelindung nilai-nilai etika profesi. Alih-alih membina media dan jurnalis muda, mereka justru terjebak dalam praktik manipulatif yang mencoreng wajah pers nasional.
Seruan Tegas kepada Dewan Pers dan Aparat Penegak Hukum:
Dengan semakin meluasnya praktik ini, Sitijenarnews Group menyerukan kepada Dewan Pers dan aparat penegak hukum untuk mengambil langkah tegas terhadap wartawan, pimpinan redaksi, dan pimpinan media yang terlibat dalam praktik proyek dan politik praktis. Profesi jurnalis tidak boleh dijadikan kendaraan untuk meraih keuntungan pribadi yang melanggar hukum dan etika.
Kami juga meminta agar Dewan Pers mencabut sertifikat UKW dari mereka yang terbukti melanggar kode etik, serta mencabut izin operasional media yang disalahgunakan sebagai alat untuk mencari proyek. Tidak ada satu pun regulasi di Republik Indonesia yang membenarkan wartawan atau pimpinan media terlibat dalam pengadaan proyek. Jika ada yang mengklaim sebaliknya, kami siap untuk berdebat dan menunjukkan bahwa hukum tidak memberikan ruang untuk praktik semacam itu.
Mengembalikan Marwah Jurnalisme:
Jurnalisme adalah profesi yang lahir dari nurani, bukan dari hitungan keuntungan. Dalam sejarahnya, jurnalis selalu berada di garis depan memperjuangkan demokrasi, keadilan, dan kebenaran. Namun hari ini, semangat itu dikaburkan oleh nafsu sebagian oknum yang lebih memilih menjadi pengusaha proyek ketimbang penjaga fakta.

Kami mengajak seluruh insan pers untuk kembali pada nilai-nilai dasar profesi ini. Jangan biarkan pekerjaan mulia ini ternoda oleh segelintir orang yang menyalahgunakannya. Mari bangun media yang benar-benar berpihak pada rakyat, bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi jurnalistik, serta menjunjung tinggi integritas dan etika.
Karena tanpa integritas, media hanyalah alat kekuasaan. Dan tanpa etika, wartawan hanyalah pedagang informasi.
(Redaksi/Tim Biro Sitijenarnews Group)