Wartakotamu.com Situbondo, Jumat 1 Agustus 2025 — Dunia pers kembali diguncang. Seorang wartawan lokal, Humaidi dari Radar Situbondo, menjadi korban dugaan penganiayaan dan persekusi saat meliput aksi unjuk rasa damai Aliansi Solidaritas Bersama (ASB) di Alun-Alun Situbondo, Kamis 31 Juli 2025. Ironisnya, peristiwa ini diduga melibatkan langsung Bupati Situbondo, Yusuf Rio Prayogo, yang datang ke lokasi aksi dengan rombongan.

Insiden terjadi saat massa ASB yang terdiri dari aktivis LSM dan awak media menggelar aksi damai yang sedianya akan dilanjutkan dengan longmarch ke kantor Pemerintah Kabupaten Situbondo. Namun rencana itu mendadak batal setelah Bupati Yusuf muncul secara tiba-tiba di tengah kerumunan. Ia datang dengan membawa beberapa ibu-ibu, personel Satpol PP, serta sejumlah pria berpakaian sipil yang tak diketahui identitasnya.
Di tengah suasana yang mulai memanas, Humaidi melakukan tugas jurnalistik dengan merekam kejadian menggunakan ponsel. Ketika mencoba mengabadikan interaksi antara massa dan bupati, ia diduga dihampiri oleh Yusuf Rio yang berupaya merebut alat kerjanya. Aksi itu memicu keributan.
“Saat saya merekam, tiba-tiba bupati mendekat dan mencoba merebut ponsel saya. Saya menolak dan mempertahankan, lalu saya diseret ke belakang, dipukul sampai terjatuh, dan ketika mencoba berdiri saya dipukul lagi oleh seseorang yang saya tidak kenal,” kata Humaidi.
Akibat serangan tersebut, Humaidi mengalami luka fisik dan trauma. Ia langsung dilarikan ke RSUD dr. Abdoer Rahem Situbondo untuk mendapatkan perawatan medis. Setelah itu, ia resmi melaporkan insiden tersebut ke Polres Situbondo.
Kecaman Keras dari Komunitas Jurnalis dan LSM:
Tindakan kekerasan terhadap wartawan di tengah tugas peliputan memantik kemarahan dari berbagai pihak. Ketua Umum LSM SITI JENAR, Eko Febriyanto, yang juga Direktur PT Siti Jenar Group Multimedia Situbondo, mengeluarkan pernyataan tegas mengecam kejadian tersebut.
“Apa yang terjadi terhadap saudara Humaidi adalah pelanggaran serius terhadap UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ini bukan sekadar tindak kekerasan, tetapi bentuk nyata penghalangan kerja-kerja jurnalistik yang sah menurut hukum,” ujar Eko.
Ia menambahkan bahwa kejadian tersebut juga melanggar ketentuan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik, serta Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang implementasi HAM dalam tugas kepolisian.
Sorotan Terhadap Lemahnya Pengamanan:
Eko juga menyoroti lemahnya pengamanan dalam aksi damai tersebut. Ia menyayangkan bahwa aparat kepolisian tidak mampu menjamin keselamatan peserta aksi dan jurnalis yang meliput.
“Seharusnya aparat mengantisipasi potensi konflik dengan memberikan jarak aman antara massa aksi, pejabat publik, dan jurnalis. SOP pengamanan itu ada. Tapi nyatanya, kemarin jurnalis bisa dianiaya di depan umum tanpa perlindungan,” tegas Eko.

Ia menyebut kejadian ini sebagai bukti nyata bahwa kerja-kerja jurnalistik belum mendapat perlindungan optimal dari negara. “Kalau wartawan saja bisa diseret dan dipukuli saat kerja, bagaimana dengan aktivis atau warga biasa yang menyampaikan kritik?”
Tuntutan Tegas dan Seruan Solidaritas:
Eko menyatakan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam. Ia bersama LSM SITI JENAR dan jaringan media di Situbondo akan terus mengawal proses hukum, termasuk mendesak polisi agar mengusut tuntas semua pelaku tanpa pandang bulu.
“Kami ingin penyelidikan ini transparan. Jika benar bupati terlibat, proses hukum tetap harus berjalan. Jangan ada impunitas,” ujarnya.
Ia juga mengajak seluruh komunitas pers, organisasi masyarakat sipil, dan elemen publik untuk bersatu melawan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis.
Kekerasan Terhadap Wartawan adalah Ancaman Demokrasi:
Peristiwa ini menjadi bagian dari daftar panjang kekerasan terhadap insan pers di Indonesia. Jurnalis yang seharusnya mendapat perlindungan justru kerap menjadi sasaran kekerasan fisik, intimidasi, bahkan kriminalisasi.
“Kebebasan pers adalah pondasi utama demokrasi. Kalau kebebasan itu dilanggar dengan kekerasan dan negara membiarkannya, maka demokrasi kita dalam bahaya,” tegas Eko.

Belum Ada Klarifikasi dari Bupati:
Hingga berita ini diturunkan, Bupati Yusuf Rio Prayogo maupun pihak Pemerintah Kabupaten Situbondo belum memberikan keterangan resmi terkait insiden tersebut. Upaya konfirmasi yang dilakukan sejumlah awak media belum mendapat tanggapan.
Sementara itu, tekanan terhadap aparat penegak hukum terus meningkat. Publik menunggu transparansi dan keadilan atas kejadian yang mencoreng wajah demokrasi lokal Situbondo.
Penutup:
Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya luka bagi individu, tapi luka bagi masyarakat yang berhak atas informasi. Insiden ini menjadi pengingat keras bahwa kebebasan pers harus dijaga bersama. Negara tidak boleh membiarkan kekuasaan dipakai untuk membungkam kebenaran.
(Redaksi – Tim Biro Pusat Siti Jenar Group Multimedia)