Wartakotamu.com Wates, Kulonprogo — Persidangan perkara pidana pelanggaran hak cipta font yang menjerat Iwan Kurniawan bin Ngatiran sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Wates, Kulonprogo, Kamis (2/10/2025), memasuki babak penting. Sidang ke-11 yang mengagendakan keterangan terdakwa ini membuka sejumlah fakta baru yang dinilai membuat perkara menjadi lebih terang-benderang di hadapan majelis hakim.
Sidang yang dipimpin Majelis Hakim PN Wates tersebut menghadirkan Iwan untuk memberikan keterangan langsung menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Evi Nurul Hidayati, S.H., serta dua penasihat hukumnya, Advokat Rachmat Idisetyo, S.H. dan Advokat Joko Siswanto, S.Kom., S.H., CTA. Sejumlah keterangan Iwan mencatat tiga poin krusial: tidak adanya mens rea (itikad jahat), adanya upaya perdamaian yang ditolak pihak pelapor, serta bantahan terhadap sejumlah keterangan saksi korban.
Tidak Ada Niat Jahat:
Dalam persidangan, Iwan menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki niat jahat atas penggunaan font yang menjadi objek perkara. Ia mengaku hanya sebagai pemberi order pembuatan 18 thumbnail konten YouTube yang dikerjakan oleh Tukijan, seorang tenaga profesional lepas dan bukan karyawan Iwan.
“Pekerjaan desain grafis itu murni dilakukan oleh Tukijan. Saya tidak tahu soal pemilihan font yang ternyata milik saksi korban,” ujar Iwan di ruang sidang.
Keterangan ini membuka fakta baru bahwa keputusan untuk menggunakan font berhak cipta milik Thomas Aredea — saksi korban sekaligus pelapor — bukanlah inisiatif Iwan, melainkan murni kebijakan Tukijan sebagai pihak profesional yang ditunjuk mengerjakan desain.
Upaya Perdamaian Gagal:
Sidang juga mengungkap bahwa sejak awal bergulirnya perkara, Iwan sebenarnya telah beritikad baik dengan mengajukan perdamaian. Ia menawarkan ganti rugi sebesar Rp15 juta, namun ditolak Thomas.
Thomas, kata Iwan, hanya bersedia berdamai jika ia membayar ganti rugi sesuai permintaan sepihaknya yang mencapai Rp120 juta. Bahkan, pada tahap mediasi yang menjadi syarat sebelum penetapan tersangka oleh penyidik Ditreskrimsus Polda DI Yogyakarta, Thomas tetap bersikukuh pada nominal tersebut.
Ketika hakim anggota Nurrachman Fuadi, S.H., M.H. menanyakan alasan Iwan tidak menaikkan tawaran ganti rugi demi perdamaian, Iwan menegaskan ada dua alasan mendasar.
“Pertama, pihak Thomas tidak mau bernegosiasi karena sudah mematok harga yang tidak bisa ditawar lagi. Kedua, saya dengan sangat terpaksa harus melawan karena saya tahu sudah banyak teman-teman saya sesama seniman konten kreator yang diperlakukan sama oleh pihak pelapor. Saya melawan karena tidak ingin ada korban berikutnya,” ungkap Iwan lantang di hadapan majelis hakim.
Fakta Baru Soal Lisensi Font:
Dalam kesaksiannya, Iwan juga membantah pernyataan Thomas terkait lisensi font yang disebut hanya tersedia sebagai etalase di platform luar negeri dan tidak dapat dibeli langsung melalui platform tersebut. Iwan menghadirkan bukti cetakan email yang menunjukkan lisensi font tersebut justru dapat dibeli melalui platform resmi.
Selain itu, sidang mengungkap adanya perubahan harga lisensi font yang dilakukan Thomas dari waktu ke waktu. Fakta ini dinilai memperkuat dalil pembelaan Iwan terkait niat baiknya yang tidak direspons oleh pihak pelapor.
Respons Terdakwa:
Usai sidang, Iwan mengaku lega dan puas karena dapat memberikan keterangan secara terbuka tanpa rekayasa.
“Saya menyampaikan keterangan apa adanya. Saya sangat mengapresiasi pertanyaan-pertanyaan dari JPU dan majelis hakim yang membantu perkara ini menjadi lebih terang-benderang,” ujar Iwan.
Sidang perkara ini ditunda hingga Selasa (14/10/2025) dengan agenda pembacaan tuntutan oleh JPU. Perkara ini menjadi sorotan publik karena dinilai menyangkut kepastian hukum hak cipta di era digital, khususnya bagi para kreator konten dan desainer grafis yang memanfaatkan font sebagai elemen desain.
(Red/Tim)